Asalamualaikum

Asalamualaikum

Senin, 30 Mei 2011

PROSPEK EKONOMI 2011

Oleh Soeroso Dasar

Seorang ahli manajemen, Igor Ansoff, dalam bukunya "Implanting Strategic Management" mengatakan, kita saat ini memasuki phase discontinues dan surpriseful.
Menurut Igor, perekonomian dan bisnis tidak bisa lagi dengan kaku menggunakan database tahun lalu untuk dijadikan pijakan dasar analisis. Demikian pula di era globalisasi, berbagai kejutan terjadi di dunia yang pada gilirannya akan mengganggu perencanaan secara keseluruhan. Sekarang tidak ada lagi yang pasti dalam perencanaan pembangunan bangsa.
Selama lima tahun ke depan, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata sekitar 7% hingga 8% setiap tahun.
Pertumbuhan ekonomi kita selama ini tidak menggambarkan demikian.Buktinya:
tahun 2005 (5,6 %)
tahun 2006 (5,5 %)
tahun 2007 (6,3 %)
tahun 2008 (6,1 %)
tahun 2009 (4,5 %)
tahun 2010 (5,8 % sampai triwulan III).

Apakah angka pertumbuhan 7%-8% merupakan angka optimistis, pesimistis, atau moderat?
Meminjam istilah Prof.Rina Indiastuti, Guru besar Fakultas Ekonomi UNPAD, target pertumbuhan 7%-8% dengan halus menurutnya adalah "Angka Kenangan".
Pertumbuhan yang tinggi pada tahun 2011 PDB (Product Domestic Bruto) harus mencapai 900 triliun rupiah. Inflasi berada pada level 5,1% atau 5,3 %.
Mulai 2011, pemerintah juga ingin terus mengembangkan enam koridor ekonomi yang diharapkan menjadi penopang "MIMPI" pertumbuhan tersebut.

Konsep koridor ekonomi merupakan "roh" dan arah Undang-Undang No. 17/2007 tentang RPJPN Tahun 2005 – tahun 2025, menetapkan enam wilayah koridor ekonomi, yaitu :Sumatra dan Jawa Barat utara, pantai utara Jawa, Kalimantan, Sulawesi Barat, Jatim-Bali-NTB, dan Papua. kemungkinan akan terjadi keterpaduan dan koneksi antara koridor-koridor ekonomi itu banyak dipertanyakan. Sering kali rencana yang dibuat Bappenas (pusat), belum tentu sinergis dengan perencanaan pembangunan daerah (Bapeda). Contohnya, koridor ekonomi 1 adalah Jabar utara, sementara saat ini Jabar menggarap pembangunan infrastruktur dan perhatian lebih ke Jabar Selatan.
Tidak salah apabila kita kritisi angka 7% - 8% dengan mengonfrontasi berbagai pernyataan pemerintah. Salah satu komponen perhitungan inflasi adalah harga bahan pokok, khususnya beras. Rencana 2010 impor beras dari Vietnam 550 ribu ton, 50 ribu ton dari Thailand, mendadak direvisi. Saat ini pemerintah melakukan enam kali kesepakatan impor beras total 1,23 juta ton, dengan alasan cuaca ekstrem. Lucunya, data BPS yang dikutip Menteri Pertanian mengatakan Indonesia surplus beras 5,6 juta ton, karena peningkatan produksi lokal 2,46%. Apabila pada 2011 kondisinya masih demikian, tingkat inflasi yang mampu "dijinakkan" pada level 5,1. Semua terjadi pada saat harga kebutuhan pokok terus melambung. Dengan alasan cuaca, harga cabai menembus Rp 100.000. Tragisnya, harga di tingkat petani hanya Rp 40.000.
Begitu juga dengan penerimaan pajak sepanjang 2010 meleset dari target APBN perubahan (98,1%). Sementara pengeluaran negara dalam bentuk subsidi dalam APBN perubahan 2010 melebihi target, yakni sekitar 106,4%. Melesetnya subsidi karena beban subsidi listrik lebih dari 104 %. Bagaimana dengan subsidi bahan bakar, pangan, kemungkinan terjadinya bencana pada 2011? Semuanya bisa mengganggu proses pembangunan yang demikian indah direncanakan. Ketika gangguan alam terjadi, sektor pertanian menjerit, perikanan babak belur, dan semua sektor yang masih bersinggungan dengan alam akan hancur.

Rencana kenaikan harga BBM pada Maret 2011 tentu akan memicu tingkat inflasi. Namun yang mencerahkan hati kita adalah dinamika dan besaran ekonomi Indonesia masuk dalam 20 besar di dunia. Nilai ekspor pun mampu menembus hingga 15,34 miliar dolar AS, serta harga minyak mentah dunia relatif membaik. Apabila ini bisa terus dipertahankan kemudian pemerintah konsisten dengan kebijakan ekspornya, serta gejolak ekonomi dunia relatif stabil, mimpi pertumbuhan 7% insya Allah dapat terbukti.
Pertumbuhan tinggi bisa saja terjadi apabila dipacu oleh perusahaan besar, sektor perbankan, yang pada umumnya padat teknologi dan modal. Namun dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja kecil sekali. Di sinilah peran pemerintah memainkan strategi serta perencanaannya agar pembangunan tetap menetes ke bawah. Tidak ada gunanya pertumbuhan terbang setinggi langit jika rakyat tetap melarat, jelata, dan duafa. Itu namanya pertumbuhan semu.

Pertumbuhan ekonomi yang baik kita butuhkan. Namun, pemerataan pembangunan jauh lebih kita utamakan karena jurang pemisah antara yang kaya dan papa semakin menguak lebar. Semuanya terjadi dan lahir dari rahim pembangunan yang diciptakan dan direncanakan oleh pemerintah. Apabila ini dibiarkan, akan mengundang konflik sosial baik vertikal maupun horizontal.
Dari berbagai kekhawatiran, kegembiraan kita muncul ketika mendengar para politisi mengatakan tiga tahun ke depan adalah tahun kerja, bukan politik. Tahun 2011 atau tahun kelinci diyakini lebih ramah dan adem ayem, yang penting adalah kerja keras, kebersamaan, dengan motivasi semangat tidak menyerah. Terlalu banyak potensi negeri ini yang belum digali, yang pada gilirannya mampu mengangkat peradaban manusianya.

Sebenarnya dengan modal pertumbuhan ekonomi 7 persen hingga 8 persen banyak yang dapat diperbuat untuk bangsa. Asalkan dana pembangunan ini jangan " tercecer " atau "bocor" di tengah jalan. Tidak perlu bermimpi terjadi oil boom seperti dulu ketika dana pembangunan berlimpah. Indonesia hari ini tidak seperti dulu. Indonesia hari ini memerlukan kerja keras, bangkit dengan kebersamaan….!!!

Penulis, pengamat sosial tinggal di Bandung.
SUMBER : http://artikel-media.blogspot.com/2011/01/prospek-ekonomi-2011.html

Rabu, 11 Mei 2011

PENDAPATAN PERKAPITA PROVINSI-PROVINSI DI INDONESIA PADA TAHUN 2005-2010

Dalam menyusun rencana pembangunan yang baik, tentunya dibutuhkan data statistik yang memuat informasi tentang kondisi riil suatu daerah pada tahun tertentu. Pendapatan perkapita adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk di suatu negara. Pendapatan perkapita didapatkan dari hasil pembagian pendapatan nasional suatu negara dengan jumlah penduduk negara tersebut. Pendapatan perkapita juga merefleksikan PDB per kapita.Pendapatan perkapita sering digunakan sebagai tolak ukur kemakmuran dan tingkat pembangunan sebuah negara; semakin besar pendapatan perkapitanya, semakin makmur negara tersebut.
PDRB merupakan jumlah nilai tambah barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha pada suatu daerah dalam satu tahun tertentu. PDRB dapat dihitung dengan 2 cara yaitu berdasarkan harga berlaku dan harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku yaitu menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun tersebut. Sedangkan PDRB atas dasar harga konstan yaitu nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga pada tahun dasar yang telah ditentukan

Artikel ini menggunakan data statistik PDRB per kapita berdasarkan harga konstan karena perhitungan PDRB atas dasar harga konstan berguna untuk mengukur perubahan volume produksi dan perkembangan produktivitas secara nyata karena faktor pengaruh perubahan harga telah dihilangkan. PDRB atas dasar harga konstan juga dapat digunakan sebagai indikator untuk menggambarkan perubahan tingkat kemakmuran suatu daerah dari tahun ke tahun dan sebagai dasar perencanaan atau proyeksi pembangunan pada masa mendatang.

PDRB per Kapita Atas Dasar Harga Konstan 2000, Menurut Provinsi pada tahun 2005-2009, Provinsi DKI Jakarta memiliki PDRB per kapita terbesar dibandingkan 32 provinsi lainnya di Indonesia selama lima tahun berturut-turut sejak tahun 2005 hingga tahun 2009.
Berikut ini adalah besarnya PDRB per kapita Provinsi DKI Jakarta selama lima tahun :
1. 2005 (32.205 ribu rupiah)
2. 2006 (34.837 ribu rupiah)
3. 2007 (36.773 ribu rupiah)
4. 2008* (36.671 ribu rupiah)
5. 2009** (40.269 ribu rupiah)

Provinsi yang memiliki PDRB tertinggi kedua adalah
Provinsi Kalimantan Timur.
PDRB perkapita provinsi Kalimantan Timur lima tahun yaitu :
1. 2005 (32.537 ribu rupiah)
2. 2006 (32.689 ribu rupiah)
3. 2007 (32.527 ribu rupiah)
4. 2008* (33.316 ribu rupiah)
5. 2009** (33.333 ribu rupiah)


Provinsi ini sempat mengalami penurunan PDRB per kapita, yaitu pada tahun 2007. Namun pada tahun 2008, provinsi ini dapat kembali meningkatkan PDRB per kapitanya.

Provinsi yang memiliki PDRB per kapita terbesar ketiga selama lima tahun berturut-turut adalah provinsi Kep. Riau.
PDRB per kapita provinsi kep.Riau lima tahun yaitu :
1. 2005 (23.756 ribu rupiah)
2. 2006 (24.304 ribu rupiah)
3. 2007 (24.992 ribu rupiah)
4. 2008* (25.478 ribu rupiah)
5. 2009** (25.291 ribu rupiah)

Provinsi Kalimantan Timur, provinsi ini sempat mengalami penurunan PDRB per kapita pada tahun 2009. Padahal selama 4 tahun berturut-turut provinsi ini dapat meningkatkan PDRB per kapitanya.
Provinsi yang memiliki PDRB terendah dibandingkan 32 provinsi di Indonesia yaitu Provinsi Gorontalo.
Berikut ini adalah besarnya PDRB per kapita provinsi ini yaitu :
1. 2005 (2.166 ribu rupiah)
2. 2006 (2.294 ribu rupiah)
3. 2007 (2.436 ribu rupiah)
4. 2008* (2.593 ribu rupiah)
5. 2009** (2.755 ribu rupiah)
Selama tiga tahun berturut-turut, provinsi ini memiliki PDRB per kapita terendah. pada dua tahun berikutnya provinsi ini tidak lagi menjadi provinsi yang memiliki PDRB per kapita terendah. Posisinya digantikan oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Pulau Kalimantan selama lima tahun berturut-turut menempati PDRB per kapita tertinggi di Indonesia dengan PDRB per kapita sebagai berikut :
1. 2005 (12.699 ribu rupiah)
2. 2006 (12.949 ribu rupiah)
3. 2007 (13.171 ribu rupiah)
4. 2008* (13.625 ribu rupiah)
5. 2009** (13.957 ribu rupiah)

PDRB per kapita pulau ini selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya sejak tahun 2005 hingga tahun 2009.pulau lainnya
(Maluku dan Papua) selalu berada di posisi terendah dalam jumlah PDRB per kapita lima tahun berturut-turut.
Masing-masing besar PDRB pulau ini yaitu :
1. 2005 (4.389 ribu rupiah)
2. 2006 (4.136 ribu rupiah)
3. 2007 (4.267 ribu rupiah)
4. 2008* (4.303 ribu rupiah)
5. 2009** (4695 ribu rupiah)
Pada tahun 2006, pulau ini sempat mengalami penurunan PDRB per kapita. pada tiga tahun berikutnya pulau ini mampu meningkatkan PDRB per kapitanya lagi.

Dengan demikian bila kita melihat seluruh PDRB per kapita masing-masing provinsi di Indonesia dapat disimpulkan bahwa PDRB per kapita masing-masing provinsi adakalanya PDRB per kapita mengalami peningkatan dan adakalanya pula PDRB per kapita tiap provinsi di Indonesia mengalami penurunan.
PDRB per kapita dipengaruhi oleh hal-hal berikut seperti kekayaan yang berupa sumber-sumber ekonomi (kekayaan alam), jumlah penduduk dan kemampuan penduduk (SDM) dalam menerapkan teknik produksi atau mengolah kekayaan yang dimiliki daerahnya.

Keterangan :
*) : angka sementara
**) : angka sangat sementara

Sumber :
http://www.bps.go.id/
• Sukwiaty, Sudirman Jamal dan Slamet Sukamto. 2006. Ekonomi SMA Kelas X, halaman 141. Jakarta : Yudhistira.
• http://id.wikipedia.org/wiki/Pendapatan_perkapita